Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.
Di media sosial, sejumlah nasabah Bank Syariah Indonesia (BSI) mengeluhkan aplikasi BSI Mobile, sejak Senin (8/5/2023). Selain sulit mengakses dan bertransaksi melalui aplikasi tersebut, ada juga di antara mereka yang tidak dapat menggunakan fasilitas ATM dan layanan teller di BSI.
Serangan Siber
Perihal erornya sistem digital BSI ini, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyampaikan bahwa penyebab gangguan layanan tersebut adalah akibat serangan siber. Meski begitu, Erick tidak bersedia mengungkapkan jenis serangan yang menyebabkan layanan BSI eror. Erick mengaku terus memantau perkembangan terkait gangguan layanan BSI. Ia juga mengatakan, Direktur Utama BSI Hery Gunardi sudah turun tangan langsung untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Namun demikian, dalam pernyataaan di akun Instagram resminya @banksyariahindonesia pada Selasa (9/5/2023), manajemen BSI menjelaskan bahwa eror terjadi karena BSI tengah melakukan perawatan (maintenance) sistem. BSI pun meminta maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi karena nasabah tidak bisa melakukan transaksi keuangan.
BSI juga sempat memastikan bahwa meski sistemnya mengalami eror, dana nasabah tetap aman. Pihak manajemen juga mengimbau semua nasabah agar tetap waspada dan berhati-hati terhadap segala modus penipuan ataupun tindak kejahatan digital yang mengatasnamakan BSI.
Nasabah Tekor
Di lapangan, erornya layanan BSI ini jelas berbuah tekor bagi nasabah. Bahkan, sejak merger, BSI yang sebelumnya terdiri dari beberapa bank syariah, malah menyulitkan karena nasabah jadi tidak punya alternatif rekening lain untuk transaksi ekonomi.
Lihat saja kesaksian para pebisnis dan pemilik toko daring (online shop) yang mereka tuangkan di sejumlah media sosial. Pemasukan mereka terhambat karena tidak bisa menerima transfer pembayaran dari pelanggannya yang hanya bisa melalui BSI. Barang dagangan yang sedianya dapat segera dikirim, akhirnya masih menumpuk di penjual, alih-alih diterima pelanggan.
Padahal, alasan nasabah menggunakan rekening BSI terutama karena bank tersebut berlabel “syariah”. Jenis rekening yang tidak ada tambahan bunga (riba) adalah motivasi terbesar mereka membuka rekening BSI. Kondisi ini sejatinya iklim positif mengingat tumbuhnya kesadaran masyarakat muslim akan pentingnya transaksi ekonomi tanpa riba.
Runtuhnya Kecongkakan Digitalisasi Ekonomi Syariah
Peristiwa ini mau tidak mau membuat animo masyarakat terhadap bank pelat merah berlabel syariah menurun. Padahal, pada saat yang sama, iklim ekonomi digital dan identitas Indonesia sebagai salah satu basis ekonomi syariah dunia tengah digencarkan oleh pemerintah.
Asal tahu saja, akhir Maret 2023 lalu, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh baru saja menobatkan Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin sebagai Bapak Ekonomi Syariah Indonesia. Penobatan ini ditandai dengan peluncuran buku berjudul K.H. Ma’ruf Amin: Bapak Ekonomi Syariah Indonesia di Auditorium Ali Hasyimi, Kampus UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Namun sayang, erornya layanan BSI—selaku pihak yang boleh dikatakan sebagai tonggak ekonomi syariah saat ini—nyatanya adalah tamparan keras sekaligus manifestasi runtuhnya kecongkakan jargon bombastis ekonomi syariah, terutama yang berbasis digital.
Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mendalami hakikat kelembagaan BSI—maupun bank lainnya—yang tidak lain adalah lembaga perbankan. Pasalnya, meski sudah berlabel syariah, BSI tetap saja tumbuh dengan bernaung di bawah sistem ekonomi kapitalisme. Dalam kapitalisme sendiri, lembaga perbankan adalah salah satu mesin penyedot uang, selain pasar modal.
“Bubble Economy”
Di antara faktor penyebab tetap tegaknya sistem ekonomi kapitalisme adalah kelihaiannya melakukan tambal sulam. Tidak heran jika sampai detik ini, kapitalisme masih mampu bertahan kendati berulang kali mengalami krisis dan resesi. Pada titik ini, lembaga perbankan dan pasar modal adalah senjata untuk menyerap sisa-sisa uang (akumulasi uang) yang beredar di tengah masyarakat dalam wujud uang tabungan/celengan agar masuk ke kantong kapitalisme.
Terkhusus perihal lembaga perbankan yang bahkan disebut sebagai jantung ekonomi kapitalisme dan sangat diandalkan oleh ekonomi pasar bebas, lembaga ini adalah lembaga yang paling cepat mengakumulasi dana-dana dari rumah tangga masyarakat dengan jumlah yang sangat fantastis. Selanjutnya, dana dari masyarakat ini difungsikan untuk menggelembungkan perusahaan-perusahaan kapitalis agar makin besar dan besar lagi.
Bayangkan jika bank tidak ada, maka para kapitalis (pengusaha) akan kesulitan mendapatkan tambahan modal untuk memperbesar perusahaannya. Oleh sebab itu, bank merasa berkepentingan untuk memberikan bunga (riba) sebagai fasilitas bagi nasabah agar mereka tertarik menyimpan uangnya di bank.
Pembesaran perusahaan kapitalis tersebut, selama ini kita kenal dengan istilah “pertumbuhan ekonomi”, yang sejatinya berupa pertumbuhan yang bertumpu pada utang dan penjualan kertas saham. Inilah sebabnya pertumbuhan ekonomi kapitalisme juga dikenal sebagai pertumbuhan “bubble economy” (ekonomi balon). Ini karena dari penampakannya seolah-olah ekonominya tumbuh, padahal sebenarnya hanya membesar karena utang, bukan pertumbuhan ekonomi sektor riil.
Namun tentu saja, bank tidak boleh menggunakan akumulasi dana dari masyarakat ini 100% untuk penyaluran kredit/utang. Bank harus menahan persentase kredit untuk kapitalis tersebut pada kisaran 85—90% saja. Ini sebagai upaya antisipasi jika masyarakat sewaktu-waktu menarik dananya secara tunai dari bank. Tidak heran, ketika terjadi peristiwa seperti krisis moneter 1997-1998, yakni saat masyarakat berbondong-bondong dan mendadak menarik uangnya dari bank, bank pun kolaps dan tidak mampu menyediakan semua dana tersebut.
Teknologi Keuangan Perspektif Islam
Memang, keberadaan layanan ekonomi digital, sebagaimana juga terdapat di sistem ekonomi kapitalisme saat ini, adalah wujud teknologi yang boleh kita ambil. Namun, ketika kapitalisme menggunakan teknologi itu sebagai mesin pengungkit roda ekonominya, kita harus jeli mencermati titik-titik yang masih boleh kita ambil sebagai konsekuensi keterikatan kita terhadap hukum syarak karena kita adalah muslim.
Keharaman riba sebagai fasilitas bank saat ini, tidak layak kita perdebatkan. Riba tidak boleh diambil. Terlebih karena demi motif promosi/pemasaran (marketing) bank, istilah riba saat ini makin banyak jenisnya, padahal tetap saja hakikatnya riba. Jika kita memang harus memiliki rekening di bank karena meyakini kebolehan teknologi keuangan tadi, hendaklah kita memilih jenis rekening yang tidak ada ribanya atau 0% bunga. Ini adalah upaya parsial yang bisa menjadi alternatif saat ini.
Namun demikian, solusi bagi sistem ekonomi saat ini tentu saja harus sistemis. Kita tidak bisa menggunakan sistem ekonomi berlabel syariah, tetapi tubuhnya tetap ekonomi pasar bebas, darahnya tetap uang kertas, jantungnya tetap lembaga perbankan dan pasar modal, serta pompa jantungnya adalah suku bunga.
Sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya solusi sekaligus motor untuk mengganti sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi Islam hanya dapat berjalan di bawah naungan sistem pemerintahan yang menjadikan ideologi Islam sebagai dasar negara, yakni Khilafah.
Mekanisme sistem ekonomi Islam dalam menggantikan sistem ekonomi kapitalisme adalah dengan mengganti seluruh organ beserta akad-akad transaksi ekonomi di dalamnya. Sistem ekonomi Islam meniadakan riba sehingga riba tidak akan memiliki celah sebagai instrumen pengembangan harta.
Sistem ekonomi Islam juga menutup pertumbuhan pasar modal sehingga pertumbuhan ekonomi yang berjalan hanya ekonomi riil tanpa ada sedikit pun ekonomi nonriil. Selanjutnya, distribusi kekayaan menurut Islam tidak berdasarkan mekanisme harga dan pasar bebas, melainkan dengan mendudukkan jenis-jenis kepemilikan beserta pengelolaannya menurut jenisnya tersebut, yakni meliputi kepemilikan individu, umum, dan negara.
Khatimah
Islam tidak antiteknologi keuangan beserta digitalisasinya. Namun, ketika teknologi digunakan untuk menggerakkan ekonomi kapitalisme, kita layak kritis dan tidak begitu saja menerima realitas sistem ekonomi yang ada. Sistem ekonomi Islam jelas hanya memberi ruang bagi terjadinya pertumbuhan ekonomi riil mengikuti syariat Islam kafah, bukan yang parsial sebagaimana kamuflase bank berlabel “syariah”, tetapi nyatanya tetap bernaung di bawah sistem ekonomi kapitalisme.
Andai kata sistem ekonomi Islam meniscayakan penggunaan teknologi digital, penyelenggaraannya tentu akan profesional dan tidak mudah jatuh akibat serangan siber. Penguasa Khilafah akan memastikan penyelenggaraan teknologi keuangan tersebut sesuai dengan pilar-pilar politik pengurusan urusan umat dengan amal-amal terbaik. Wallahualam bissawab. (*)
Sumber: MuslimahNews