Oleh : Asyraf Alharaer Assegaf (Mahasiswa IAIN Parepare)
Mahasiswa sebutan bagi orang awam adalah dia terpelajar yang sedang menempuh di sebuah perguruan tinggi bahkan dianggap sebagai “dia seorang intelek”. Sebagai agen perubahan, penyambung lidah yang memiliki tanggung jawab signifikan terhadap masyarakat, bangsa dan negara, mahasiswa juga berperan sebagai pendorong dan penggerak dinamika sosial.
Namun, fakta lapangan menunjukkan bahwa status sebagai intelek dan agen perubahan yang diagung-agungkan ini sering kali hanyalah formalitas, banyak mahasiswa yang kurang terlibat dalam peran sosial yang sebenarnya dan lebih fokus pada pencapaian akademis tanpa mempraktikkan pengetahuan mereka untuk kepentingan masyarakat luas.
Bukankah mahasiswa diharapkan mampu menghadirkan solusi, inovasi atas berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat? Situasi seperti inilah menimbulkan tantangan bagi mahasiswa untuk benar-benar mewujudkan peran mereka sebagai agen perubahan dan tidak hanya sebatas gelar atau status.
Kampus sebagai wadah meningkatkan kapasitas pengetahuan, teori-teori keilmuan, dan pengalaman, juga banyak dinamika bumbu-bumbu kebahagiaan di dalamnya, salah satunya menjadi mahasiswa aktivis; dulu muka sangar, rambut gondrong, celana robek dan suara yang keras saat orasi meminta keadilan kadang menjadi kacamata pandang seorang bahwa dia aktivis, lalu bagimana dengan mahasiswa style kemeja, celana kain dan ukuran rambut rapi?
Pada dasarnya, mahasiswa aktivis tidak hanya dilihat dari penampilan semata, tetapi juga harus mampu menyeimbangkan antara akademik dan kegiatan ekstrakurikuler “organisasi” di luar bangku perkuliahan.
Mahasiswa aktivis yang ideal adalah mereka yang mampu berkontribusi secara nyata dalam lingkungan sekitar, menjadi teladan bagi rekan-rekannya, dan menunjukkan bahwa keberhasilan akademik tidak harus mengorbankan partisipasi aktif dalam kegiatan di luar kelas.
Tetapi kebanyakan lebih memilih menjadi mahasiswa akademis; kuliah pulang-kuliah pulang (kupu-kupu) adalah gaya hidup yang umum di kalangan mahasiswa.
Banyak mahasiswa yang memilih untuk fokus pada akademis saja karena berbagai alasan, seperti mengejar prestasi akademik, memenuhi ekspektasi keluarga untuk mencapai segera studi, atau karena mereka merasa lebih nyaman dengan rutinitas yang teratur tepat waktu mungkin segera usai dari kampus.
Memang benar menjadi tanggungjawab moral pribadi terhadap orangtua di rumah lebih ke arah, “Nak, selesaikan segera pendidikannya/studi kamu di kampus jangan mau jadi donatur kampus, berlama-lama di kampus.” Lontaran orang tua di rumah kebanyakan seperti itu dan banyak menjadi hambatan untuk kurang berinteraksi di lingkungan sosial sehingga mungkin tidak ikut dalam organisasi di kampus.
Menjadi pengalaman pribadi banyak menjadi cerita dan motivasi untuk tetap memilih tetaplah belajar tidak hanya di bangku perkuliahan saja, tapi mari terus belajar meluangkan waktu membuka forum-forum diskusi di luar bangku perkuliahan. (*)