OPINI — Satu terobosan yang dilakukan LPPTKA BKPRMI Kota Parepare dipenghujung akhir tahun 2021, di luar kebiasaan, dengan melantik secara massal Kepala Unit TKA/TPA di empat kecamatan. Itu pertama kalinya dilaksanakan di Sulawesi Selatan. Bukan tanpa alasan, dukungan pemerintah kota terhadap semua Agama di Kota Parepare, sangat besar. Salah satunya memperhatikan guru mengaji dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM)-nya, memasang WIFI di masjid yang bermohon, agar pegawai sya’ra, bisa mencari literatur Alquran secara digital.
Perda baca tulis Alqur’an Kota Parepare Nomor 10 tahun 2015 yang saat ini ditunggu perwalinya, semoga segera terwujud. Agar Alqur’an bisa lebih dibumikan di Kota Santri ini.
Pelantikan Kepala Unit TKA/TPA BKPRMI sekaligus menjawab, bagaimana guru mengaji mempersiapkan diri dan meningkatkan SDM-nya dalam membantu pemerintah di bidang keagamaan, khususnya Baca Tulis Alquran.
Kenapa Alqur’an mesti dibumikan? Karena semua Ilmu Pendidikan, ada di dalam Al-Qur’an, menghargai perbedaan, mencintai kedamaian. Alquran menjawab dan berada di semua zaman dan tersirat dalam Alqur’an. Mulai dari Ilmu Agama, Sastra, Hisab (Perhitungan), Kimia, Kedokteran, Ekonomi, Sejarah, Hukum, Tata Negara, Politik dan Bahasa.
Ending dari semua itu adalah menggunakan ilmu menuju jalan Taqwa yang memberikan kebermanfaatan yang saling menghargai dan menghormati.
Kenapa? Semakin memahami Alqur’an, semakin mengenal perbedaan, mengurangi saling menyalahkan, apalagi merasa benar sendiri. Alqur’an semakin dibaca, semakin menguatkan pentingnya Musyawarah Dialog dalam menyelesaikan persoalan.
Michael Hart, secara jujur walaupun Non Muslim, mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW, sukses menjadi pemimpin sepanjang masa, karena Alquran menjadi pedomannya. Sehingga rasulullah diberi juga gelar “Alquran berjalan”.
Semua ulama Ahli Alquran sepakat ayat berjumlah 6000, bahkan sering didengar 6666 ayat 114 surah dan 30 Juz. Tetapi ketujuh, ahl Kufah berbeda pendapat dengan menyebutkan sebanyak 6236 ayat. Mushaf al-Qur’an yang diterbitkan di Indonesia jumlah ayat al-Qur’an sebanyak 6236 ayat. Mushaf Standar Indonesia mengikuti pendapat Kûfiy, yaitu Imam Asim (127/744), Imam Hamzah (156/772), Imam Al-Kisa’i (189/804) Khalaf al-Asyir (229/843), dan al-A’masy (148/765).
Apapun pertanyaannya, Alquran menjawabnya.
“Jika Anda menginginkan ilmu, maka selamilah Alquran, karena di dalamnya terdapat ilmu orang-orang terdahulu dan yang akan datang.” (Abdullah bin Mas’ud RA).
Istilah membumikan Alquran bagi publik Indonesia memang terbilang baru mencuat ke permukaan sejak Prof M Quraish Shihab menulis karya monumental pada 1994 dengan tajuk Membumikan Alquran. Fungsi dan kedudukan wahyu dalam kehidupan bermasyarakat.
Kalimat itu lantas populer dikalangan cendekiawan, mahasiswa dan tak terkecuali para juru dakwah termasuk diantaranya GPAI AGPAII dan Para Muballigh. Membumikan Alquran maknanya mengimplementasikan nilai-nilai luhur Kitab Suci tersebut dikehidupan sehari-hari.
Menempatkan Alquran yang selama ini berada ranah langit an sich, terhenti pada kajian ilmiah, atau sekadar dibaca, tapi keistimewaannya tertahan pada huruf, ritme, dan nada bacaan saja. Tak lebih.
Namun, sebenarnya usia dari substansi apa yang diperkenalkan Quraish itu cukup tua bersamaan dengan diturunkannya misi yang dibawa Rasulullah SAW. Begitulah tujuan risalah agar nilai-nilai Qurani teraplikasikan dalam kehidupan riil di bumi, bukan mengawang-awang di langit.
Pantas bila Umar bin Khatab RA berkisah, tak pernah satu pun ayat yang sahabat pelajari langsung dari Rasul kecuali telah mereka praktikkan. Hanya saja, Quraish mampu membingkainya dengan apik meski kalimatnya tak terlalu kearab-araban, tetapi tak melenceng dari esensi utama. Begitulah Quraish.
Menurut penilaian Howard M Federspiel dalam Kajian Alquran di Indonesia, putra kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan itu adalah putra bangsa yang unik. Modal keilmuan yang ia peroleh selama di Timur Tengah menjadi asupan berharga bagi dinamika tafsir di nusantara.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan fenomena kala itu di saat akademisi justru didominasi oleh para alumni kampus-kampus Barat. Keistimewaan ini menempatkannya sebagai nama cendekiawan paling populer dalam Popular Indonesian Literature of The Quran.
Mimpi besar ‘membumikan’ Alquran itu termanifestasikan lewat berbagai karya yang ia tulis. Dan, sebagian besarnya didominasi dengan corak dan gaya tafsir. Gagasannya itu pun dinilai banyak kalangan sangat novatif, memecah kebuntuan kajian tafsir modern Tanah Air, yang sempat stagnan, bahkan mandek pada 1980-an. Karya-karya monumental belum lagi muncul setelah era tersebut.
Padahal, dalam dekade itu, buah pemikiran beberapa tokoh sempat menggeliatkan kajian tafsir modern nusantara, seperti karya Ash-Siddieqy dengan judul Tafsir al-Bayan, Halim Hasan lewat Tafsir Alquranul Karim, dan terakhir pendahulu Quraish di Universtas al-Azhar Mesir, yakni karya Buya Hamka dengan judul Tafsir al-Azhar.
Howard tentu tidak berlebihan menilai sang mufasir itu unik. Apalagi bila melihat potret dan stigma miring yang selama ini disematkan ke wajah para alumni Timur Tengah, tidak produktif dan tak lihai menulis karya ilmiah. Citra itu diperkuat dengan fakta bahwa mayoritas universitas di kawasan tersebut tidak memberlakukan wajib skripsi bagi mahasiswa strata satu.
Namun, memang realisasi mimpi besar Quraish tidaklah mudah. Perlu komitmen dan sinergitas. Konsep Pusat Studi Alquran yang ia dirikan seyogianya bentuk ikhitar sederhana merangkum segala potensi demi terwujudnya mimpi itu. Tentu, akan lebih indah jika gayung bersambut dalam upaya ‘membumikan’ Alquran.
Di lain sisi, potensi diskursus dan disorientasi pada kajian tafsir, di tengah-tengah arus liberalisme dan radikalisme, cukuplah ada, untuk tidak dibilang besar. Mempertahankan moderasi, numerasi dan literasi yang merupakan hakikat Islam terkadang mendatangkan tudingan tak sedap.
Suara sumbang acap kali ditujukan kepada Sang Tokoh. Di satu sisi, masyarakat kian cerdas untuk membaca opsi yang sekiranya tepat tanpa menabrak kesucian naluri mereka. Sementara di sisi yang lain, suara sumbang yang berasal dari ‘ketidaktahuan’ itu menyisakan kebencian dan tuduhan murahan. Bagi Quraish, butuh proses untuk mendidik umat akan pentingnya kedewasaan berpikir dalam menyikapi persoalan
Sebab, inti dari mimpi tersebut adalah kepatuhan kepada Allah. Allah memberikan kebebasan, menginginkan agar dalam kehidupan di dunia terwujud bayang-bayang surga. Bayang-bayang surga itu, menurut Alquran, sandang, pangan, dan papan tercukupi. Dan yang kedua, damai. Biarkan saja, Allah berkehendak apa. Tugas seorang hamba adalah patuh.
Itulah salah satu tujuan kenapa Alquran mesti dibumikan di Kota Santri dan Kota Pendidikan ini, salah satunya, literasi Alquran 5-10 menit sebelum memulai pembelajaran karena indikator Kota Pendidikan adalah “Komprehensif” dalam memberikan kesempatan kepada warganya, sesuai bidang Ilmu yang di dalami dan ditekuni, untuk meningkatkan kualitas hidup lahir batin, yang taat pada Allah dan Rasul-Nya, serta Amir (Pemerintah), semoga. (*)
Penulis : Muhammad Dahlan