OPINI–Kisruh penolakan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja atau UU OLCK menjadi topik utama pemberitaan media pada dua pekan pertama bulan Oktober 2020. Gelombang penolakan UU OLCK yang diusulkan oleh pemerintah ini nyaris terjadi di seluruh daerah yang digawangi oleh kelompok buruh dan mahasiswa.
Layar kaca televisi dan smartphone dipenuhi oleh info aksi protes dari publik berikut ekses negatif yang menyertainya. Tidak sedikit aksi penolakan berujung ricuh, menimbulkan korban luka-luka, dan adanya pengrusakan sejumlah fasilitas publik dan instansi pemerintah. Bukannya Bersatu lawan corona, malah ribut saling curiga. Nampaknya ancaman Pandemi belum cukup untuk menghadirkan kehangatan sosial dan ketentraman berwarga negara. Semua gara-gara Omnibus Law.
Menurut Audrey O” Brien (2009), “Omnibus Law adalah suatu rancangan undang-undang (bill) yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang”. Itulah mengapa Omnibus Law juga disebut Undang-Undang sapu jagat karena melingkupi sejumlah perundang-undangan lintas bidang. Omnis sendiri adalah Bahasa Latin yang berarti banyak. Sifat “omnis” inilah yang dikhawatirkan oleh sejumlah kalangan.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendalami susbtansi materi dari undang-undang, melainkan pengamatan dari aspek komunikasi politiknya. Omnibus law tidak saja menjadi produk hukum tapi juga sebuah fenomena sosial politik. Lantas bagaimana peristiwa ini dimaknai dari perspektif komunikasi?