Oleh: Muhammad Suryadi R
Founder Lingkar Studi Aktivis Filsafat (LSAF) An-Nahdliyyah, Sekertaris Perpustakaan Komunitas Iqra (Takanitra)
Hilal Pilpres 2024 telah terlihat pada Rabu 20 Maret 2024. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029. Ia berhasil unggul atas pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Berdasarkan hasil hitung resmi KPU, mengumumkan duet Prabowo-Gibran memperoleh 96.214.691 suara atau 58,59 persen, Anies-Muhaimin mendapat 40.971.906 suara atau 24,95 persen, dan Ganjar-Mahfud sebanyak 27.040.878 atau sebesar 16,47 persen.
Jika tak ada aral melintang, maka Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan dilantik pada Minggu 20 Oktober 2024 dan resmi memimpin Indonesia sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024 sampai 2029.
Kendati sidang PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) telah usai dan putusan MK pada 22 April menyatakan pasangan Prabowo-Gibran resmi menjadi Presiden periode 2024-2029. Namun, penulis tidak akan menyoal hasil putusan tersebut.
Poin tulisan ini bukan soal itu. Sebab, proses politik telah berjalan sebagaimana mestinya di luar dari dinamika dan drama yang terjadi di dalamnya dan bangsa ini telah menentukan sendiri nakhodanya selama lima ke depan. Secara materil, proses Pemilu telah selesai tinggal menunggu proses formilnya pada Minggu 20 Oktober 2024. Lagipula, dalam setiap proses politik yang ada, siapapun pemenangnya, rakyatlah yang akan tetap kalah.
Yasraf Amir Piliang menyebut, “dalam demokrasi kita rakyat selalu disebut, tapi tidak pernah dihargai”. Cerminan praktik politik kita kira-kira seperti itu, di mana rakyat hanya disebut dalam retorika dan dalam gimmick, tapi yang dilaksanakan sebetulnya adalah kepentingan mereka sendiri.
Politik Machiavellian
Bagi penulis, dalam politik tidak penting siapa pemenangnya, melainkan bagaimana pertarungan itu bisa dimenangkan. Itu poinnya. Kata Prof. Jimly Asshiddiqie “politik itu tak ubahnya seperti permainan catur”. Begitu banyak permainan dan strategi di dalamnya. Dalam politik praktis, itu berarti semua cara boleh digunakan sebagai amunisi bertarung. Tidak penting benar atau tidak, baik atau buruk. Apalagi memang cara berpolitik kita sejak dulu sudah sangat pragmatis. Hanya bicara jangka pendek, soal menang kalah.
Cara seperti ini dikenal dengan prinsip politik Machiavellian yang mengamini keyakinan bahwa politik itu kejam dan licik. Maka menjadi seorang Pangeran (penguasa) tak hanya kuat tapi juga harus licik. Politik ala Machiavelli merupakan prinsip yang memandang persoalan etika dalam politik tak memiliki signifikansi dalam proses merebut kekuasaan. Bahwa kejujuran misalnya, tidak menjadi skala prioritas dalam sebuah pemerintahan. Pemerintahan atau kekuasaan akan bertahan meski tanpa etika.
Jika Sang Pangeran selalu jujur, maka ia akan kalah dan kepemimpinannya akan menjadi lemah. Penguasa sebab itu tak boleh selalu baik, ia harus selicik Serigala dan segalak Singa. Pada konteks saat ini, cara berpolitik ala Machiavelli ini lazim digunakan bahkan dalam urusan pendistribusian kekuasaan yakni urusan bagi-bagi jatah kue.
Makan Siang Gratis
Anggaplah Prabowo-Gibran bersama Makan Siang Gratis-nya dinyatakan memenangkan Pilpres pasca putusan MK, maka bisa diasumsikan makan siang gratis masih lebih dibutuhkan ketimbang internet gratis dan pendidikan gratis. Jadi, mengapa pertarungan Pilpres yang satu sangat menarik satunya karena Makan Siang Gratis.
Menjelang Pilpres, makan siang gratis mulanya hanya jargon, namun, kini telah menjadi terminologi politik baru setelah pendidikan gratis dan internet gratis. Makan siang gratis adalah program populis. Tak main-main, jargon ini cukup ampuh mencuci pikiran banyak orang. Logikanya sederhana; siapa yang tidak membutuhkan makanan, apalagi gratis?
Lalu muncul pertanyaan, siapa yang akan menyiapkan makan siang gratis?
Jawaban atas pertanyaan itu telah memancing spekulasi dan polemik. Terbaru, berhembus kabar jika makan siang gratis tersebut akan dibiayai menggunakan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Kabar tersebut lantas didebat oleh perhimpunan guru karena dinilai mengganggu biaya operasional pendidikan, yang sebetulnya jumlah yang dialokasikan sekarang belum cukup.
Pada intinya program makan siang gratis ini pastinya mahal. Sebab, nantinya akan terjadi proses ekonomi yang tak sebentar. Tidak bisa tidak, makan siang gratis membutuhkan alokasi anggaran cukup besar dan tentunya membutuhkan konfigurasi politik super elit yang akan memainkan lobi dan mengeksekusinya ke tataran akar rumput.
The Invisible Hand
Pernyataan dari Adam Smith, Founding Fathers ekonomi kapitalisme, “bukan kebajikan dari tukang daging, pembuat bir atau tukang roti kita mengharapkan makan malam kita, tetapi justru dari perhatian mereka untuk kepentingan mereka sendiri” relevan sebagai alat analisis untuk membedah siapa yang menyiapkan makan siang gratis. Pernyataan tersebut memuat proses ekonomi. Dari tukang roti hingga proses produksi lalu diserahkan ke pasar dan kepentingan sendiri merupakan bagian penting dari sistem ekonomi liberal.
Dalam sistem ekonomi liberal, peran meng-cover kebutuhan dan kepentingan individu diserahkan kepada seorang aktor yang bermain di belakang layar yang dalam logika Smith dinamai The Invisible Hand atau Tangan Tak Terlihat. Tukang roti, tukang daging, dan pembuat roti bekerja di bawah pengawasan Tak Tak Terlihat ini bahkan orang tajir dan negara sekalipun.
Pada sistem ini, Tangan Tak Terlihat leluasa menguasai pasar. Mekanisme kesejahteraan dan kemakmuran ditentukan di tangan mereka. Prinsip inilah yang menjadi skema dan fondasi dasar ideologi pasar bebas. Dalam konteks ini, pemerintah tak dilibatkan sama sekali. Pemerintah hanya ditugaskan mengamankan kepentingan mereka dengan perangkatnya yang dalam istilah Louis Althusser disebut sebagai Ideologi State Aparatus dan Represif State Aparatus.
Bentuk nyata The Invisible Hand adalah para pemodal yang memiliki jejaring bisnis internasional. Mereka hidup dalam negara dan sulit bahkan tak tersentuh sama sekali. Mereka ini mengintervensi kebijakan negara agar pro mekanisme pasar yang telah mereka atur sebelumnya. Kekuatan ini selalu bermain di setiap agenda negara tak terkecuali Pilpres. Mereka tentu berkepentingan memastikan agar kebutuhannya terjamin. Sebab itu, mereka tak tanggung-tanggung memodali kontestan politik.
Jawaban siapa yang menyiapkan makan siang gratis, masih menunggu kejelasan. Pasalnya, Menteri Keuangan baru-baru ini mengatakan bahwa anggaran makan siang gratis belum ada di APBN. Namun, yang pasti jawaban tersebut nanti akan mengkonfirmasi bagaimana mekanisme makan siang gratis ini dijalankan. Apakah program tersebut dilelang ke pasar ala The Invisible Hand atau disalurkan melalui mekanisme lain!
Apapun bentuknya, yang pasti adalah tak ada makan siang yang benar-benar gratis, semua membutuhkan resources yang besar dan ongkos yang mahal, entah dibiayai investor asing atau dibarter dengan sumber daya alam. Entahlah. (*)
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan