ESAI,- “What’s the best thing about being a writer?” “If you are the writer, you control the universe that you write about.”
Seperti itulah respon Hugh R. Williams menanggapi pertanyaan mengenai “hal terbaik” menjadi seorang penulis. Bagi Williams, menulis buku adalah keinginan, dan yang sukses sebagai penulis adalah orang yang menulis kemudian menerbitkannya tanpa memedulikan laku atau tidak tulisan itu di pasaran. Inilah standar sukses penulis bagi Williams.
Muhidin M. Dahlan menggolongkan laku Williams sebagai seorang asketis dalam dunia kepenulisan. Seorang penulis yang asketis, lebih mengedepankan pengabdian diri yang total terhadap apa yang ia ingin tuliskan, lepas dari apakah karya itu nantinya best seller atau tidak. Bagi Muhidin, seorang asketis tugasnya hanya menulis dan menulis; melanjutkan ingatan peradaban.
Contoh paling dekat, sejauh yang saya ketahui (lihat langsung), segolongan dengan Hugh R. Williams di daerah sekitar saya bermukim, adalah Badaruddin Amir. Pak Badar (sapaan Badaruddin Amir) merupakan seorang guru cum sastrawan penulis buku paling banter se-Ajatappareng (tolong dikoreksi kalau ini keliru!). Tidak tanggung-tanggung, tulisannya yang dimuat dalam buku antologi telah terbit tidak kurang dari 40 karya, baik puisi, cerpen dan esai. Observasi saya ini, merujuk pada pemuatan biografi beliau di sela-sela kegiatan Book Fair and Open Literacy 2019.
Asketisme menulis tidak mengindahkan keuntungan (sisi finansial) dari sebuah karya yang terbit. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, buku itu laku atau tidak bukan persoalan. Badaruddin Amir pernah menegaskan, sulitnya mengedarkan hasil karya yang telah menjadi buku ke hadapan pembaca. Bahkan, disiasati pun hasilnya sama saja, lebih banyak buntungnya. Hal yang sama terhadap karya terakhirnya, Risalah. Tapi peduli setan, menulis saja lalu cetak.
Salah satu bentuk penghargaan bagi orang-orang asketis dalam dunia kepenulisan adalah dengan memamerkan hasil karya-karyanya. Kegiatan yang bertajuk Book Fair and Open Literacy 2019 yang baru saja berakhir beberapa hari lalu di alun-alun Colliq Pujie-Barru, merupakan bentuk penghargaan bagi seorang asketis seperti Pak Badar. Andai saja kegiatan tersebut tidak dilangsungkan, bisa jadi kita hanya mengenal Pak Badar sebatas guru dengan gaji pensiun yang tidak seberapa.
Pameran buku yang diberi baju “merek asing” Book Fair and Open Literacy 2019 merupakan rangkaian ekshibisi peringatan hari pendidikan yang jatuh pada 2 Mei. Kegiatan yang diprakarsai oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Barru ini cukup mengesankan, sebab ditata dengan padu. Semisal menyelenggarakan olah karya dan raga dengan cukup padat, berimbang, dan kompak. Seni dan olahraga ditampilkan begitu semarak, memancing para pengunjung untuk ikut meramaikan.
Pameran buku yang diadakan di Barru tergolong cukup berani. Sebab buku ditampilkan sebagai pesona bagi pengunjung yang datang di lokasi pameran. Buku memiliki daya pikat, itu yang saya amati selama tujuh jam melapak di stan yang disediakan oleh panitia.
Awalnya saya ragu, apakah ada yang datang melihat buku-buku yang digelar di atas karpet yang kami bawa dari Parepare? Keraguan saya terjawab, pada saat silih bergantinya pengunjung yang datang ke stan, walaupun hanya sekadar bertanya harga dan membuka beberapa halaman buku yang tidak tersegel. Saya juga mengamati sekeliling, pengunjung juga cukup ramai di beberapa stan sekolah menengah pertama.
Hari pendidikan diperingati dengan cara yang lain di Barru, daerah sekitar melakukan apa?
Buku adalah pesona, penarik para pembaca. Pameran tidak lagi sekadar pajang hasil kerja atau fungsi dan tugas lembaga, lebih dari itu, kualitas pameran mesti ditingkatkan; bukan kuantitas penghargaan yang hanya sekadar gagah-gagahan.
Selamat Hari Pendidikan Nasional
Tetap Asketis, Pak Badar!
Penulis:
S. Purwanda