OPINI — Kita sudah sering mendengar diksi dan narasi tentang literasi yang selalu diprasekan dan digaungkan oleh pegiat literasi dan gerakan cinta membaca adalah yang masih menjadi masalah besar di negeri ini, khususnya dunia pendidikan.
Jika kita menelisik kondisi kebiasaan membaca masyarakat indonesia, hal yang bisa dijadikan penetrasi yaitu sinergitas antara kearifan/ budaya lokal dan tuntunan agama tentang perintah iqro “bacalah”…yang dalam sebuah riwayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya Ma aqra?.. Apa yang harus saya baca?, namun tidak dijawab karena Allah bermaksud agar kita membaca apa saja selama bacaan itu “bismi rabbika” yang berarti bermanfaat.
Kodisi membudayakan membaca punya potensi besar bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di seluruh dunia. Pada saat ini diperkirakan bahwa jumlah umat Muslim mencapai 207 juta orang ini adalah faktor penguat membudayanya literasi Alquran dan perintah “Iqra”.
Rasulullah dalam menyambut Nuzulul quran
Nuzulul Qur’an adalah sejarah atau peristiwa diturunkannya Al Qur’an secara utuh dari Lauhul Mahfuzh di langit ketujuh, ke Baitul Izzah di langit dunia tepatnya pada “Bulan Ramadhan, bulan yang dipadanya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (Qs. Al Baqarah: 185)
Nuzulul Quran memberi semangat literasi yang diimplementasikan dengan mengisi malam Nuzulul Qur’an itu dengan istiqomah membaca Al-Qur’an dan mengkhatamakannya selama Ramadhan.
Kedua, budaya masyarakat muslim terutama di malam Nuzulul Quran yaitu memperbanyak i’tikaf yang diisi dengan literasi Al-Qur’an dan dzikir lainnya. Dan yang ketiga, memperbanyak sholat malam dan banyak berdoa sebagai rangkaian dari literasi quran.
Nuzulul Quran adalah ritual ramadhan yang bermuatan spirit budaya literasi masyarakat muslim dengan meneladani kebiasaan Rasulullah, Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu menceritakan tentang apa yang Rasulullah lakukan: “Dahulu Malaikat Jibril senantiasa menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada setiap malam Ramadhan, dan selanjutnya ia membaca Alquran bersamanya.” (Riwayat Al Bukhari)
Berdasarkan penuturan sahabat Huzaifah radhiallahu ‘anhu tentang pengalaman beliau salat tarawih bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku salat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam bilik yang terbuat dari pelepah kurma. Beliau memulai salatnya dengan membaca takbir, selanjutnya beliau membaca do’a, selanjutnya membaca surat Al Baqarah, sayapun mengira bahwa beliau akan berhenti pada ayat ke-100, ternyata beliau terus membaca.
Sayapun kembali mengira: beliau akan berhenti pada ayat ke-200, ternyata beliau terus membaca hingga akhir Al Baqarah, dan terus menyambungnya dengan surat Ali Imran hingga akhir.”
“Kemudian beliau menyambungnya lagi dengan surat An Nisa’ hingga akhir surat. Setiap kali beliau melewati ayat yang mengandung hal-hal yang menakutkan, beliau berhenti sejenak untuk berdoa memohon perlindungan.
Sejak usai dari salat Isya’ pada awal malam hingga akhir malam, pada saat Bilal memberi tahu beliau bahwa waktu salat subuh telah tiba beliau hanya salat 4 rakaat.” (Riwayat Ahmad, dan Al Hakim).
Demikianlah cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingati turunnya Alquran pada bulan Ramadhan, membaca penuh dengan penghayatan akan maknanya.
Tidak hanya pada mudarosah atau ilmu tajwidnya, beliau juga banyak membaca Alquran pada salat beliau, sampai-sampai pada satu raka’at saja, beliau membaca surat Al Baqarah, Ali Imran dan An Nisa’, atau sebanyak 5 juz lebih.
Inilah gambaran literasi Alquran yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan, dan demikianlah cara beliau memperingati turunnya Al Quran.
Qauliah (ayat-ayat Allah) dan qauniah (fenomena Alam) adalah sumber pembelajaran yang secara tekstual dan kontekstual yang memberi stimulus bagi insan literat (terpelajar) untuk terus menuntut ilmu dengan memperbanyak membaca bacaan yang “bismi rabbika”. (*)