Oleh : Faridatus Sae, S. Sosio
(Aktivis Dakwah Kampus)
Masa depan gemilang generasi pemilik bumi nyatanya hanya menjadi ilusi, ketika bumi milik generasi justru “di kaveling” oligarki. Bisa terlihat bagaimana pembangunan di negeri ini, mulai dari bandara, KRL, jalan tol, IKN, kota ekonomi, dan properti. Masifnya pembangunan membuat masyarakat maupun generasi berbondong-bondong melakukan urbanisasi (perpindahan penduduk dari desa ke kota).
Berdasarkan data BPS, menyatakan bahwa penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan akan terus meningkat menjadi 66,6 persen pada 2035. Sedangkan pada 2020-an, jumlah populasi yang tinggal di perkotaan diperkirakan telah mencapai 57,3 persen dari populasi total Indonesia. Besarnya urbanisasi ini menjadi bukti bahwa masyarakat memiliki harapan yang luar biasa dari pembangunan yang semakin maju, karena pembangunan yang meningkat akan berbanding lurus dengan kesejahteraan yang diterima. Maka, tidak jarang banyak masyarakat melakukan urbanisasi ke wilayah yang memiliki pembangunan yang cukup pesat dan gemerlap.
Pembangunan yang cukup pesat dan seolah gemerlap, megah, bahkan menakjubkan. Nyatanya, dibalik itu semua ada dampak yang sangat luar biasa, ada rakyat yang menjadi korban, ada rakyat yang harus menanggung imbas pembangunan. Pengkavlingan lahan oleh pengusaha yang dijadikan bisnis properti juga menjadi polemik yang harus dihadapi generasi, dimana generasi terancam tidak bisa membeli properti karena berkurangnya ruang hidup membuat harga rumah/properti menjadi mahal dan tidak terbeli. Pembangunan properti sendiri nyatanya ada bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun generasi tapi untuk mencari keuntungan dan memperkaya diri. Banyaknya bisnis properti sendiri tidak menjamin generasi akan mudah mempunyai rumah karena tujuannya adalah bisnis.
Maka, berkurangnya ruang hidup menjadikan generasi dipersuasi bahwa tidak masalah jika tidak memiliki lahan, yang sekarang hits adalah tinggal di apartemen, padahal apartemen lahannya tidak ada dan generasi seolah dipaksa tinggal di apartemen itu pun dengan mencicil pembayaran karena tidak mampu membayar lunas. Persoalannya bukan hanya sekedar perampasan lahan dan ketika orangnya di pindah lantas selesai persoalan.
Tapi persoalannya adalah penguasaan ruang hidup. Dimana ruang hidup itu ada yang namanya tempat tinggal, ada kehidupan layak, kesejahteraan, kesehatan tubuh maupun lingkungan, mata pencarian, dan hubungan sosial. Namanya hidup memang butuh ruang, tidak bisa hidup jika tidak memiliki ruang, bahkan orang yang meninggal saja perlu ruang. Maka ketika ruangnya dirusak, lahannya direbut, dan ketika ada sisa ruang hidup ternyata dirusak. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana nasib generasi?.
Apakah meninginkan hidup dengan sisa ruang hidup yang sudah rusak dan ruang hidup yang kualitasnya sudah tidak baik ini?. Jika ruang hidup sudah rusak, lantas apa yang akan diwariskan pada generasi mendatang? Sehingga, ini adalah masalah generasi dan masalah yang akan berdampak luas bagi kehidupan generasi.
Sesungguhnya, oligarki yang harus bertanggung jawab atas semua ini. Oligarki diundang secara legal di negeri ini, untuk diberikan kesempatan membangun industri sebanyak-banyaknya atau industrialisasi, seperti membangun apartemen, hotel dan membangun apa saja, yang mana membutuhkan lahan dan dengan syarat lahan murah juga tidak terbatas. Lantas, bagaimana mendapatkan lahan tersebut?
Cara mudah dan memungkinkan adalah dengan mekanisme kemitraan yaitu kerjasama dengan pemerintah. Oligarki kerjasama dengan pemerintah dengan nama Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti di Rempang. Orang Rempang diusir dari tanahnya karena akan ada PSN. Bahkan investor memberikan deadline tanah harus kosong kapan dan ketika tidak bisa berjalan sesuai kemauan investor maka akan ditinggalkan proyek tersebut.
Lantas yang takut siapa? Pemerintah. Masyarakat Rempang berusaha melawan tapi apalah daya ketika oligarki di dukung kekuasan, yaitu dengan menurunkan angkatan bersenjata untuk membantu memuluskan proyek oligarki (PSN), yaitu mendirikan pabrik kaca di Rempang dan menggusur arga asli Rempang. Sedangkan, masyarakat yang memberontak akan ditangkap, dipukuli, dan dipenjara. Penguasaan lahan atau perampasan lahan ini adalah legal yang dilindungi oleh undang-undang dan didukung oleh pemerintah. Siapa pun yang melawan akan berhadapan dengan aparat, senjata dan gas air mata. Proyek yang berdiri di atas airmata dan darah masyarakat Rempang dan masyarakat lain. Inilah kekejaman oligarki hanya untuk kepentingan pribadi, berani merampas hak rakyat yang didukung pemerintah atas nama kemitraan, kerjasama atau investasi.
Maka, sebagai generasi muda harus memahami bahwa ini adalah penjajahan atas nama investasi dan utang. Tidak seharusnya takjub pada Barat yang datang seolah pahlawan tapi hakikatnya justru melakukan penjajahan. Jika mereka bukan penjajah, maka masyarakat akan sejahtera dengan keberadaan mereka, nyatanya justru masyarakat sengsara dengan keberadaannya. Negeri ini, tidak seharusnya dijajah dan dieksploitasi, akhirnya rakyat atau generasi hanya diberikan sisa alam dan ruang hidup yang rusak. Maka harus ada perubahan bukan hanya sebatas ganti pimpinan lantas ganti aturan padahal aturan yang dihasilakn pun berpihak pada pemilik kepentingan karena pemimpin terpilih dengan sokongan dana pemilik kepentingan.
Maka perubahan yang hakiki adalah perubahan ideologi, yaitu mengganti ideologi sekuler kapitalisme yang meniscayakan oligarki diganti dengan ideologi tandingan yang berasal dari Pencipta manusia, yaitu Allah SWT.
Islam bukan hanya sebagai agama, islam juga bukan hanya memerintahkan ibadah, sholat, zakat, haji, dan nikah. Islam merupakan aturan hidup komprehensif yang mengatur seluruh lini kehidupan manusia dari bangun tidur hingga bangun negara. Pencipta manusia sendiri yang mengatakan bahwa islam itu sempurna.
Maka, sebenarnya untuk apa mencari aturan yang lain selain yang datang dari Pencipta manusia?. Aturan islam berasal dari Pencipta, yang mana Pencipa pasti mengetahui mana aturan terbaik untuk mengatur kehidupan ciptaan-Nya. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, salah satunya adalah sistem ekonomi islam yang memuat aturan dalam aspek pengelolaan lahan.
Maka, yang menjadi pertanyaan, jika tidak ada investor lantas bagaimana cara melakukan pembangunan?. Paradigma islam tentang pembangunan adalah pembangunan tanpa investasi, terutama investasi asing, yaitu: investasi asing tidak boleh masuk dalam pengelolaan SDA milik umum seperti tambang, air, minyak bumi, gas alam, dan kepemilikan umum ini tidak boleh diserahkan pada investor asing maka yang harus mengelola adalah negara (kepemilikan dalam islam ada tiga yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara), tidak boleh investasi asing ada riba (baik dengan bunga atau kontrak).
Islam mengharamkan investasi asing dan utang luar negeri. Utang luar negeri tidak diperbolehkan secara syara’ karena pinjaman selalu terkait dengan riba dan syarat tertentu, sementara riba haram dalam Islam. Adapun persyaratan pinjaman/utang luar negeri, biasanya akan menjadikan negara asing berkuasa dan mencengkeram negeri Islam. (*)