Oleh: Rusdianto Sudirman, S.H, M.H, C.Me
(Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare)
Setiap kali pemilihan kepala daerah (Pilkada) usai, masyarakat selalu menaruh harapan besar pada calon yang terpilih. Janji-janji politik yang disampaikan selama kampanye menjadi komitmen yang dinanti-nanti untuk direalisasikan. Namun, dalam praktiknya, mewujudkan janji politik tidak semudah mengucapkannya. Banyak tantangan dan hambatan yang harus dihadapi oleh kepala daerah terpilih dalam menjalankan visi dan misinya.
Keterbatasan Anggaran
Salah satu tantangan terbesar dalam mewujudkan janji politik adalah keterbatasan anggaran daerah. Banyak program yang memerlukan dana besar, sementara sumber pendapatan daerah seringkali terbatas. Apalagi jika daerah tersebut memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi atau ketergantungan pada dana transfer dari pemerintah pusat. Tanpa anggaran yang memadai, program-program prioritas seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan kesehatan, atau pendidikan sulit untuk direalisasikan.
Apalagi setelah terbitnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025, maka praktis di awal pemerintahan kepala daerah yang baru dilantik akan disibukkan dengan refokusing anggaran APBD.
Oleh karena itu menurut penulis, kepala daerah harus melibatkan seluruh stake holder dalam jajaran pemerintahan daerah untuk terlibat dalam menentukan skala prioritas dalam merumuskan kebijakan efesiensi, yang tentunya tetap mengacu dan berpihak kepada kepentingan publik. Bukan malah justru mengutamakan tim sukses atau relawan saat kampanye, karena setelah dilantik sebagai kepala daerah maka sumpah jabatan menegaskan agar bekerja untuk seluruh masyarakat di daerah tanpa terkecuali.
Proses birokrasi yang berbelit-belit seringkali menjadi penghambat utama dalam pelaksanaan program. Kepala daerah harus berhadapan dengan regulasi yang kompleks, tumpang tindihnya kewenangan, serta lambatnya proses pengambilan keputusan. Hal ini dapat memperlambat implementasi kebijakan, bahkan membuat program yang sudah direncanakan menjadi mandek.
Hal tersebut berawal pada saat calon kepala daerah merumuskan visi misi tanpa berpedoman pada Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJP) dan tidak berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Sehingga akibatnya visi misi yang dijanjikan pada saat kampanye banyak yang bertentangan atau bahkan bukan kewenangan kepala daerah.
Beberapa kepala daerah memasukkan kewenangan pemerintah pusat dalam visi misi dan program unggulannya, misalnya pembangunan perguruan tinggi negeri yang berada di daerahnya, padahal itu kewenangan kementerian ristek dikti.
Contoh lain banyak Calon Bupati/Walikota yang memasukkan kewenangan gubernur dalam janji politiknya, seperti pendidikan gratis untuk tingkat SMA/SMK sederajat, padahal itu murni kewenangan pemerintah provinsi. Dan banyak contoh lain yang jika kita amati lebih detail, sebenarnya visi misi yang didaftarkan saat tahapan pendaftaran bakal calon kepala daerah hanya asal jadi tanpa mendapatkan sentuhan akademis.
Dinamika Politik Lokal
Kepala daerah terpilih tidak bekerja sendirian. Mereka harus berhadapan dengan dinamika politik lokal, termasuk DPRD, partai politik, dan kelompok kepentingan lainnya. Konflik kepentingan atau perbedaan visi antara kepala daerah dan DPRD dapat menghambat proses pembuatan kebijakan. Selain itu, tekanan dari kelompok tertentu yang ingin mempertahankan status quo juga bisa menjadi tantangan serius.
Partisipasi aktif dari masyarakat sangat dibutuhkan untuk mendukung program-program pemerintah daerah. Namun, seringkali masyarakat kurang dilibatkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kebijakan. Akibatnya, program yang dijalankan tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat atau kurang mendapat dukungan.
Akan tetapi, menurut penulis selama program dan kebijakan yang diprioritaskan memiliki dasar hukum yang jelas serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka kepala daerah tidak perlu takut untuk mengambil suatu keputusan. Kekuatan politik parlemen bisa dikalahkan oleh kekuatan partisipasi masyarakat selama program yang diperjuangkan itu tersampaikan secara transparan kepada publik.
Sehingga pelibatan masyarakat dalam pemerintahan tidak cukup melalui agenda rutin seperti forum musrembang dan reses anggota DPRD. Sistem pemerintahan yang berbasis elektronik dan digitalisasi bisa menjadi opsi sebagai sarana sosialisasi dan transparansi agar masyarakat punya sarana lain untuk menyalurkan aspirasi diluar agenda rutin yang penulis uraikan di atas.
Kondisi sosial dan ekonomi yang berubah secara tiba-tiba, seperti bencana alam, pandemi, atau krisis global, dapat mengganggu rencana pembangunan daerah. Kepala daerah harus mampu beradaptasi dengan situasi yang tidak terduga, sambil tetap berusaha memenuhi janji-janji politiknya.
Selain itu tantangan lain yaitu kualitas sumber daya manusia (SDM) di pemerintahan daerah juga menjadi faktor penting. Jika aparatur pemerintah tidak memiliki kapasitas yang memadai, program-program yang dirancang dengan baik pun bisa gagal diimplementasikan. Pelatihan dan peningkatan kompetensi SDM seringkali membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Sering kali pasca pilkada tim sukses, relawan dan donatur ikut mengintervensi kepala daerah dalam reposisi jabatan di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tanpa memperhatikan faktor SDM figur yang di usulkan. Bahkan jabatan Lurah, Camat, Kepala Sekolah, sampai Kepala Dinas sering kali banyak ditentukan dari faktor eksternal.
Oleh karena itu, menurut penulis kepala daerah tidak boleh tersandera oleh pihak eksternal dalam menentukan reposisi jabatan, kepala daerah wajib mematuhi merit system yang berlaku pada UU ASN dalam melakukan mutasi ataupun pergantian pejabat nantinya. Agar tidak mendapatkan laporan, aduan, atau bahkan gugatan dari pihak-pihak yang dirugikan.
Selain itu, Kasus Korupsi masih menjadi momok dalam pemerintahan daerah. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan bisa saja diselewengkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran juga dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Praktek suap dan kecurangan dalam proses pengadaan barang dan jasa di daerah sering kali menjadi ruang gelap Korupsi di pemerintahan daerah. Sehingga tantangan terbesar seorang kepala daerah pasca dilantik adalah pencegahan dan pemberantasan korupsi, serta terhindar dari OTT KPK. Mengingat beberapa kejadian di masa lalu, kepala daerah selalu menjadi incaran OTT KPK.
Masa jabatan kepala daerah terbatas hanya lima tahun. Dalam waktu yang relatif singkat ini, kepala daerah harus bisa menunjukkan hasil nyata dari janji-janji politiknya. Tekanan waktu ini seringkali membuat kepala daerah terpilih kesulitan untuk menyelesaikan program-program jangka panjang. 100 hari masa jabatan biasanya menjadi ukuran awal masyarakat dalam menilai kinerja kepala daerah terpilih. Sehingga gerbrakan awal memang butuh aksi nyata, minimal mampu mengatasi masalah kebutuhan dasar seperi kebersihan, pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Faktor lain yang bisa menghambat kepala daerah adalah Kebijakan pemerintah pusat yang berubah-ubah sehingga dapat memengaruhi program-program di tingkat daerah. Misalnya, perubahan alokasi dana transfer atau regulasi baru dari pusat dapat mengganggu rencana pembangunan yang sudah disusun oleh pemerintah daerah. Apalagi Kondisi saat ini Presiden Prabowo telah mengeluarkan instruksi efesiensi anggaran. Tentu ini akan banyak mempengaruhi keuangan daerah.
Meskipun tantangan dan hambatannya banyak, bukan berarti janji politik tidak mungkin diwujudkan. Kepala daerah terpilih perlu memiliki komitmen yang kuat, kemampuan manajemen yang baik, serta kemauan untuk bekerja sama dengan semua pihak. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat juga harus menjadi prioritas dalam setiap langkah pembangunan.
Masyarakat pun harus terus mengawasi dan mendukung pemerintah daerah dalam menjalankan program-programnya. Dengan sinergi antara pemerintah dan masyarakat, janji-janji politik kepala daerah terpilih bukan sekadar retorika, tetapi benar-benar dapat dirasakan manfaatnya bagi kemajuan daerah.
Selamat kepada seluruh kepala daerah yang telah dilantik, semoga ilmu yang di dapatkan pada saat retreat kepala daerah di Magelang dapat segera di implementasikan di daerah masing-masing. (*)