PAREPARE, PIJARNEWS.COM — Menumbuhkan minat membaca adalah sebuah keniscayaan di era Informasi saat ini, meskipun kita masih dibayangi oleh tingginya harga kertas yang berefek kepada mahalnya harga buku, anggaran 20 persen untuk pendidikan yang diberikan oleh pemerintah pun tidak berkorelasi terhadap meningkatnya minat membaca dan mudahnya mengakses buku sebagai bahan bacaan bagi masyarakat.
Merujuk data Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Indonesia hanya menerbitkan sekitar 24.000 judul buku pertahun dengan rata-rata cetak 3000 eksamplar perjudul, ini berarti penulis Indonesia hanya mampu menghasilkan sekitar 72 juta buku.
Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa, berarti rata-rata sebuah buku di Indonesia dibaca oleh 4 orang, dan mengacu keaturan UNESCO idealnya dalam sebuah negara satu orang membaca tujuh judul buku pertahun.
Mereview sejarah berdirinya bangsa yang besar ini (Bangsa Indonesia) karena adanya orang-orang yang gila membaca (keranjingan baca buku), membawa buku dan bahan bacaan sampai ke kamar mandi itulah sosok Bung Karno, Mangil Martowidjodjo bekas komandan Datasemen Kawal Pribadi Presiden soekarno dalam buku Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967 menyatakan, Bung Karno adalah Kutu Buku sejati.
Lain cerita dengan Bung Hatta yang menikah di usia 43 dan buku yang ditulisnya sendiri sebagai maskawinnya, bahkan Bung Hatta meminta kolonialis Belanda agar bukunya dibawa serta yang berjumlah 16 peti untuk menemaninya di pembuangannya di Boven Digoel.
Bangsa yang besar tanpa tradisi literasi adalah bangsa kelas teri mudah terprovokasi, perundung dan pemaki dan akan lahir generasi yang tidak kreatif dan imajinatif, seyogyanya di era Informasi seperti saat ini tidak jadi alasan lagi untuk tidak membaca, memperkaya diri dengan banyak membaca dan mengakses bahan bacaan adalah sebuah keharusan di tengah derasnya arus informasi.
Generasi saat ini seharusnya cerdas bergadget dengan membaca sepintas (fiksate) tanpa harus melayani suguhan tekhnologi dengan bermain game chatting. Dan menonton tv. Badan Pusat Statistik terkait minat baca anak Indonesia tahun 2012 bahwa 91,67 persen lebih minat menonton tv dan bermain gadget, tanpa tau bahwa dengan minat membaca yang tinggi berpengaruh terhadap kualitas pribadi yang berorientasi masa depan dan eksistensi bangsa Indonesia di mata dunia.
Diakui infrastruktur gedung Perpustakaan di zaman ini memang mengalami kemajuan, ditandai dengan berdirinya Perpustakaan Nasional RI di Jakarta yang berlantai 27 memiliki ketinggian 126,3 meter dengan sistem pelayanan digital tercatat sebagai perpustakaan tertinggi di dunia, bahkan sampai ke pelosok daerah termasuk Perpustakaan tempat Penulis mengabdikan diri sebagai pustakawan (Gedung Perpustakaan IAIN Parepare yang dibangun dengan menelan anggaran APBN sekitar Rp27 Milyar dengan desain 4 lantai dan memiliki lift) ini adalah sebuah kemajuan yang diharap bisa mendongkrak minat baca dikalangan mahasiswa dan masyarakat.
Namun dari beberapa data yang ada bahwa pembangunan infrastruktur gedung perpustakaan belum berkorelasi dengan meningkatnya minat baca. Karena itu, diharapkan upaya pencanangan membaca secara massif oleh pemerintah dan lembaga pendidikan.
Bahkan prioritas ini seharusnya lahir dari publik figur yang menjadi titik stimulan keteladanan dalam pengembangan minat baca remaja dan masyarakat. Juga mahalnya bahan baku kertas masih jadi kendala sulitnya akses masyarakat terhadap bahan bacaan, karena, ”Pribadi yang literat adalah sebuah konsekuensi.” (*)