OPINI — Dengan adanya instruksi bekerja dan belajar dari rumah untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di negeri ini, sontak terjadi perubahan aktivitas, pola perilaku sosial, pola interaksi, dan perubahan lainnya pada setiap individu.
Ada yang terbiasa bergegas berangkat kerja sebelum fajar terbit dan kembali ke rumah saat malam telah larut. Ada juga yang terbiasa berkumpul dan bercengkrama dengan rekan kerja, kerabat serta sahabat di warung kopi saat malam hari, dan adapula yang terbiasa berpindah dari tempat satu ke tempat lainnya untuk urusan pekerjaan atau sekedar berjumpa. Namun seketika kebiasaan-kebiasaan tersebut berubah demi menjaga diri dan menjaga orang lain agar tidak saling menulari virus Covid-19. Merumahkan diri pun dianggap alternatif yang aman untuk segera mengakhiri pandemi ini.
Menyikapi perubahan yang terjadi, setiap individu dihadapkan pada dua pilihan. Apakah mereka melihat perubahan tersebut sebagai sebuah peluang atau sebagai sebuah ancaman. Arnold Bennet (1867-1931) mengatakan, “Setiap perubahan, meski perubahan menuju kebaikan, selalu diikuti rintangan dan ketidaknyamanan”. Setiap hal yang membawa rasa ketidaknyamanan cenderung dihindari oleh setiap orang.
Stephen P. Robbins (1991) mengungkap beberapa penyebab yang membuat orang resisten terhadap sebuah perubahan diantaranya adalah adanya perasaan insecurity. Pada faktanya beberapa orang cenderung mencari aman dalam hidupnya. Semakin tinggi rasa aman yang dimiliki seseorang terhadap situasi yang dialaminya selama ini maka akan semakin tinggi pula resistensinya terhadap sebuah perubahan.
Selain itu, seseorang enggan menerima perubahan karena khawatir akan ketidakpastian yang ditawarkan oleh sebuah perubahan, seperti ketidapastian ekonomi yang dihadapi di tengah kasus pandemi Covid-19 ini. Orang menjadi was-was memikirkan hari esok. Apakah mereka masih sanggup memenuhi kebutuhan pokok ketika penghasilan yang selama ini lancar menjadi tidak menentu. Berbagai perubahan akibat pandemi ini menunjukkan fenomena yang rapuh, tidak pasti, kompleks, serta ambigu. Fenomena ini juga dikenal dengan istilah VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity). Istilah ini digunakan pada tahun 90-an dalam dunia militer untuk mendeskripsikan kesulitan yang dihadapi pasukan militer akibat keterbatasan informasi terkait medan tempur. Istilah ini kongruen dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi saat ini. Keterbatasan memberi ketidakpastian dan membuat orang cenderung meraba-raba dan tidak mampu memprediksi serta mengendalikan situasi. Keadaan seperti inilah yang membuat orang memilih untuk menolak perubahan.
Walaupun demikian, menyerah dan takluk pada keadaan seperti ini bukanlah pilihan tepat. Sejumlah orang (baca: petarung) menjadikan ini sebagai sebuah momentum untuk melihat berbagai peluang yang ada dan memanfaatkannya. Mereka menolak kalah dalam keadaan yang tidak stabil ini. Mereka memilih mengasah diri untuk melangkah lebih maju. Sebagai contoh, beberapa guru yang dulu jarang atau bahkan tidak pernah menggunakan pembelajaran dalam jaringan (daring) kini mengasah diri untuk mempelajari berbagai jenis platform yang memudahkan mereka untuk tetap melaksanakan pembelajaran jarak jauh. Contoh lainnya, para pedagang yang biasanya hanya berinterasi secara tatap muka dengan pelanggan di pasar kini mengubah pola penjualannya. Mereka pun turut belajar menggunakan berbagai platform digital untuk memberi kemudahan belanja bagi para pelanggannya.
Perubahan haruslah disikapi dengan kreativitas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kreativitas adalah kemampuan daya cipta. Kreativitas merupakan salah satu soft skill yang sangat dibutuhkan di tengah situasi yang sulit. Berbagai perusahaan bahkan tidak sungkan membayar mahal tim kreatifnya sebab mereka selalu mampu menciptakan berbagai peluang untuk meningkatkan produktivitas perusahaan. Orang-orang kreatif dapat mengubah masalah menjadi peluang. Mereka adalah pemikir dan problem solver. Mereka mampu menyulap hal kompleks menjadi lebih sederhana. Mereka selalu menemukan jalan keluar serta melintasi batas dalam keterbatasan. Apa yang dilakukan oleh para guru dan para pedagang tersebut saat ini adalah salah satu contoh pengejawantahan kreativitas.
Kreativitas juga kadang terlahir dalam situasi yang kepepet. Jaya Setiabudi dalam bukunya The Power of Kepepet mengungkapkan bahwa situasi yang kepepet dapat membuat orang memilih berubah dan bergerak. Dalam ilmu fisika ada yang disebut dengan teori Aksi-Reaksi. Teori ini juga dikenal dengan hukum gerak Newton yang menyatakan bahwa jika sebuah benda diberi gaya maka benda tersebut akan berpindah tempat. Hal ini menunjukkan bahwa situasi yang dialami seseorang sangat mempengaruhi reaksinya. Orang yang sudah terbiasa pada zona nyaman cenderung malas dan tidak ingin bergerak. Mereka hanya ingin menikmati kenyamanannya selama ini. Sebaliknya, orang yang tertekan cenderung berusaha untuk bergerak. Hormon adrenalinnya meningkat sehingga cara kerjanya terpacu. Mereka akan berpikir kreatif dan mencari solusi agar dapat keluar dari tekanan.
Situasi pandemi Covid-19 ini dapat menjadi momentum untuk merangsang lahirnya berbagai inovasi di berbagai bidang untuk menghadapi hal-hal yang tidak biasa kita hadapi. Misalnya, inovasi pelayanan masyarakat yang dilaksanakan oleh instansi yang menerapkan antrean online agar physical distance dapat diterapkan untuk menghindari kerumunan massa pada saat mengantre. Inovasi yang berdampak positif diharapkan tidak hanya diterapkan pada situasi seperti ini, namun pasca masa Covid-19 pun tetap berlangsung. Situasi saat ini mungkin telah memporak-porandakan kebiasaan dan mobilitas kita serta membawa banyak dampak negatif di berbagai lini kehidupan, namun dari situasi yang tak menentu inilah kita harus menjadi pemenang atas diri sendiri dengan berpikir positif dan kreatif.
Salah satu ciri orang kreatif adalah mampu beradaptasi dengan perubahan. Kemampuan adaptasi memiliki peranan penting dalam kesuksesan seseorang. Agar tetap bertahan di tengah suasana yang tak terprediksi dan penuh resiko, maka kemampuan adaptasi ini sangat diperlukan. Sebagaimana alam, manusia pun harus berubah. Jika menilik teori evolusi oleh Darwin, beberapa jenis makhluk hidup akhirnya punah karena tidak memiliki kemampuan beradaptasi pada alam yang terus berubah. Di tengah pandemi ini, setiap orang harus beradaptasi dengan system Work from Home (WFH), seperti guru dan siswa beradaptasi menggunakan IT pada kegiatan pembelajaran, pedagang pasar tradisional beradaptasi melakukan transaksi online dan jasa delivery yang tetap mengikuti protokol kesehatan serta para pegawai yang beradaptasi untuk melakukan system absensi online. Adaptasi adalah kunci bertahan di tengan pusaran perubahan.
Perubahan adalah sebuah keniscayaan sebagaimana sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa tidak ada yang abadi kecuali Tuhan dan perubahan. Perubahan akan terus ada. Menghindarinya adalah perbuatan sia-sia. Oleh karena itu kita harus adaptif dan kreatif menyikapi setiap hal baru yang datang. Adaptasi bertujuan untuk mempertahankan eksistensi. Kemampuan adaptasi inilah yang akan menentukan apakah seseorang dapat bertahan atau tergilas oleh perubahan. Dalam sidang tahunan MPR 2019, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyampaikan bahwa dalam merespon perubahan kita membutuhkan cara-cara baru. Jadi, untuk beradaptasi, kita harus berpikir kreatif dan terus melakukan inovasi disertai rasa optimis. Keterbatasan tidak harus menjadi pembatas. (*)