OPINI, PIJARNEWS. COM–“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.” (Tan Malaka)
Tolak ukur keberhasilan KKN itu, bukan pada jumlah Proker yang terlaksana, tetapi mahasiswa dan masyarakat di desa bisa saling belajar dan peka terhadap perbaikan-perbaikan. Terbilang empat hari sudah berlalu setelah pelepasan pada tanggal 11 Juli 2024 di Auditorium Kampus Hijau Tosca IAIN Parepare, 17 Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare yang melaksanakan agenda Tridarma Perguruan Tinggi yakni terwujud dalam salah satu halnya yang paling sederhana dari Tridarma Perguruan Tinggi tersebut adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Ini sebagai bentuk pelaksanan pengabdian Mahasiswa kepada Masyarakat sebagaimana pesan filosofis Tan Malaka di atas.
Kuliah Kerja Nyata (KKN) Reguler Angkatan 35 gelombang ke 2 IAIN Parepare ini diikuti sebanyak 1.133 peserta (mahasiswa). Mereka ditempatkan di Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat.
Ribuan mahasiswa itu tersebar di beberapa kecamatan dalam bentuk Posko. Salah satunya di Desa Tammajarra, Kecamatan Balanipa Posko 53. Jumlah peserta KKN di lokasi ini sebanyak 17 mahasiswa. Mereka akan melakukan pengabdian selama 45 hari. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam dari Kota Parepare ke kecamatan Balanipa menggunakan moda transportasi darat, bus, 17 Mahasiswa ini kemudian diterima di kantor Kecamatan Balanipa secara formal dengan serangkaian acara dan sambutan hangat dari pemerintah setempat. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Desa Tammajarra bersama dengan pemerintah dalam hal ini Kepala Desa.
Desa Tammajarra dengan jumlah penduduk 1.949 jiwa terbagi dalam 3 Dusun Lambepada, Tammejarra dan Dusun Galung dari luas wilayah 1.75 Km2.
Mayoritas warga Desa Tammajarra dalam melangsungkan kehidupan dan perbaikan ekonomi bertumpuh pada hewan ternak atau memelihara kambing. Sekira 90% masyarat Desa Tammajarra berprofesi sebagai peternak kambing, karenanya ada guyonan yang menggambarkan kondisi hidup Masyarakat Tammajarra jangan mengaku tampan dan cantik di Tammajarra kalau belum ahli memanen pakan kambing.
Setelah siap dijual, umumnya jika ternak 6 bulan pemeliharaan, akan dipasarkan ke sejumlah daerah termasuk Kalimantan, Palu dan Gorontalo dengan harga yang bervariasi.
Selama perjalanan KKN di posko 53 Desa Tammajarra, akan banyak cerita-cerita. Seperti halnya prospek kehidupan Masyarakat Mandar di Desa Tammajarra berbentuk keseharian. Cerita-cerita Mandar tersebut kemudian dirangkum dalam perjalanan observasi lapangan selama 3 hari bertemu dan bertukar sapa kepada masyarakat Desa Tammajarra.
Dalam perjalanan tersebut, kami merangkum 3 fakta sosio kultural Masyarakat Desa Tammajarra.
Pada umumnya Masyarakat Desa Tammajarra yang berada pada teritorial wilayah Provinsi Sulawesi Barat dikelompokkan ke dalam Masyarakat Mandar, dengan memiliki kebudayaan luhur.
Untuk kali ini, cerita-cerita Mandar di Desa Tammajarra memiliki perbedaan dari Masyarakat Mandar yang banyak kita dengar ataupun temui, seperti mengidentikkan semiotika Masyarakat Mandar dengan Bau Peapi, Tuing-tuing, Jepa dan Sambusa yang lebih kepada hal hal yang bersifat kuliner atau konsumtif dan sangat sedikit pengenalan kita terhadap Masyarakat Mandar terkait dengan kebudayaannya yang bertalih asi kepada perospek kehidupan Par Excellence atau tata cara paradigma sosial yang adihulung.
Seperti semisalnya di Desa Tammajarra adalah tempat lahir dan lestarinya musik Tradisional Kacaping, yang kami temui di hari pertama Observasi pada tanggal 12 Juli 2024 di Dusun Lambepada. Di siang yang tidak begitu terik, kami berkunjung ke rumah Kaditira setelah menemui pemerintah setempat sebagai pemandu dan penerjemah bagi kami, layaknya tamu yang sama sekali tidak mengerti dialek Bahasa Mandar.
Sapaan dan jamuan mesra dari Kaditira mengalun dalam petikan Kacaping begitu syahdu dan romantis, selanjutnya diringi dengan bunyi Keke, Gongga Lawe dan Calong. Sesekali lagu lagu mandar klasik yang menceritakan kehidupan lampau Masyarakat Mandar memecah dari heningnya suasana di rumah kayu khas Mandar miliknya, Kaditira sendiri sudah berusia 96 tahun. Sebagai pegiat musik tradisional Mandar Kaditira telah meraih penghargaan dari istana (negara) sang Maestro musik tradisional. Perjalanan karir Kaditira menggeluti profesi sebagai pegiat musik tradisional di mulai sejak usianya 13 tahun dengan berbekal Kacaping warisan leluhurnya yang konon sudah berusia 435 tahun lebih.
Dalam keterangan Kaditira yang kami rangkum dalam cerita-cerita Mandar ini, bahwa Kacaping tersebut sudah ada sebelum imprialisme Belanda menginfasi negeri ini. Dari sanalah awal karir Kaditira sebagai sang Maestro Musik tradisional memenangi event demi event musik tradisional. Ia telah melanglang buana mengitari seantero negeri ini untuk memperdengarkan indahnya alunan alat Musik Tradisional Mandar beserta lagu-lagu Mandar yang bersahut-sahutan dalam irama musiknya.
Selain itu, Kaditira juga memproduksi alat musik tradisional Mandar dan telah dipasarkan hingga keluar Negeri seperti Thailand. Dalam pertemuan kami di usia Kaditira yang menghmpiri seabad lamanya, besar harapan perjuangannya dalam merawat dan melestarikan lalu memperkenalkan alat musik tradisional Mandar ini dapat Kaditira wariskan dan dilestarikan oleh generasi muda progresif Mandar kelak.
“Kesetaraan hak hidup lebih dari sekadar tujuan, kesetaraan tidak lain adalah prasyarat untuk memenuhi tantangan pengurangan kemiskinan, mempromosikan Pembangunan berkelanjutan dan membangun tata ekonomi dan poltik yang baik.” (Kofi Annan)
Sabtu 13 Juli 2024. Gemercik embun masih nampak dengan kasat mata membasahi atap rumah Masyarakat Desa Tammajarra setelah jatuh dari dedaunan pohon akibat dihantam oleh hangatnya sinar Metahari yang datang dari balik bukit Desa Napo, begitu juga dengan Masyarakat Dusun Galung Desa Tammajarra telah bersigap segera meninggalkan rumahnya guna melaksanakan aktivitas keseharian demi memenuhi tuntutan perut dan agar tungkuh dan kompor Gas masioh tetap menyala serta jajan anak-anak untuk berangkat ke sekolah di hari Senin mendatang.
Sama halnya dengan kami mahasiswa yang melangsungkan KKN di Desa Tammajarra bergegas menuju ke titik Observasi ke 2 karena pada hari Senin sudah harus melaksanakan seminar Program Kerja yang akan kami jalankan selama 45 hari mendatang. Setelah dari Dusun Lambepada, Dusun Galung adalah tempat observasi kami selanjutnya, dalam perjalanan pengabdian kami yang baru menjelang 2 hari. Di posko tempat kami tinggal, Ibu Ammana Akbar pemilik rumah yang kami jadikan sebagai tempat tinggal banyak bercerita seputar partisipasi aktif dari ibu rumah tangga (Perempuan) Desa Tammajarra dalam hal memajukan ekonomi keluarga.
Di antaranya, ibu rumah tangga (Perempuan) pembuat arang dan pembuat tali tambang (tali yang digunakan kapal-kapal nelayan) yang letak produksinya kurang lebih 800 meter dari posko dapat diakses dengan berjalan kaki.
Setelah perjalanan yang menguras sedikit keringat karena medan dan rute jalan yang banyak mendaki, kami menjumpai dan bercerita dengan Ibu Sitti (Perempuan pembuat arang) berusia 51 tahun dan memiliki 4 orang anak. Cerita-cerita Mandar kami ini pun berlanjut dari tutur baik Ibu Sitti seputar aktivitas kesehariannya sebagai perempuan pembuat arang.
Batok kelapa adalah bahan baku arang buatan Ibu Sitti, yang dia beli dari pengepul batok kelapa di Desa Tammejarra yang selanjutnya di bakar dalam lubang sedalam 1,5 meter dan luas 2,5 meter yang mampu menampung 8-10 karung batok kelapa dengan waktu pembakaran selama 6-8 jam perhari. Ini sesuai dengan kemampuan dan stok batok kelapa yang ibu Sitti punya, hasil dari bahan mentah arang dari batok kelapa (kadaro kaluku) dari 8-10 karung tersisa 2-6 karung saja. Selanjutnya akan diangkut oleh pengepul hingga dipasarkan ke luar daerah seperti Kota Makassar.
Apa bila stok kadaro kaluku (batok kelapa) sementara kurang atau bahkan belum tersedia, maka Ibu Sitti mengerjakan aktivitas yang lain seperti merajut dan membuat tali tambang yang berukuran sebesar 5 centimeter. Ibu Sitti bersama dengan Perempuan lainnya dipekerjakan oleh pengusaha tali tambang (limbah dari tali tambang yang di daur ulang ) dengan status sebagai pekerja upahan sepekan sekali dibayarkan. Ada juga ibu-ibu (Perempuan Mandar) Desa Tammajarra yang masih melakoni membuat sarung khas Mandar (Mannette Lipasabbe) tetapi karena pemasarannya yang cukup sulit, maka aktivitas tersebut sebatas sebagai pengisi waktu senggang.
Konsep kemandirian ekonomi Perempuan Mandiri ini dalam tradisi Masyarakat Mandar dikenal dengan Sibaliparriq atau dapat diartikan secara sosiokultural Masyarakat mandar sebagai kesetaraan antara suami dan istri dalam hal membangun kemandirian ekonomi keluarga, yang konon dahulu di masa Mandar kelasik jika suami yang berprofesi sebagai nelayan ketika perahu telah menyentuh bibir Pantai maka sang istri bergegas membatu suami merapikan hasil tangkapan atau memasarkannya.
Cerita-cerita Mandar selanjutnya adalah Bala Tau dan Pengadilan laki-laki dan Perempuan di masa Kerajaan Balanipa, yang letaknya di salah satu bukit di Desa Tammajarra. Ahad 14 Juli 2024. Selama 3 hari di Desa Tammajarra titik observasi kami selanjutnya kami adalah situs Sirumung Arayang Pitu Babana Binanga, sekaligus tour kebudayaan dan Sejarah yang ada di Desa Tammajarra.
Di ketinggian 437 MDPL bukit sekitar 1 km dari posko terdapat situs Sejarah Assitalliang Tammejarra tempat raja-raja Mandar dahulu berkumpul dan bermnusyawarah dan membuat kesepakatan mengenai tata kehidupan dan sistem pemerintahan, di sana juga tertulis naskah perjanjian dengan tiga Bahasa Mandar, Arab dan Indonesia. Ada juga deretan nama-nama raja Mandar, selain itu terdapat beberapa makam tua di antaranya makam raja Balanipa ke II Tomepayung.
Selain dari situs sejarah peninggalan raja-raja Mandar, yang menarik bagi kami adalah Bala Tau Batu yang tersusun berbentuk persegi empat. Konon dahulu di masa Kerajaan raja-raja Mandar menjadikan tempat tersebut sebagai tempat untuk memutuskan keadilan.
Jika terjadi perselisihan di masa itu yang berkaitan dengan peristiwa moralitas (siri) dan tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah, maka kedua bela pihak yang bermasalah akan menyelesaikan perselisihannya di Bala Tau sebagai tempat pengadilan terakhir tujuh Kerajaan yang ada di Mandar.
Pengadilan tersebut terbagi atas dua bagian, pengadilan untuk Laki-laki dan pengadilan untuk Perempuan. Pengadilan bagi pihak laki-laki letaknya berada pas di tengah-tengah susunan batu yang bersegi empat tadi, dengan tata cara pihak yang berselisih menginjakkan kakinya ke atas batu sebagai tumpuan pijakannya kemudian menghunuskan (Gayang) Krisnya sampai salah seorang di antaranya meninggal dunia dan diputuskanlah pihak yang meninggal dunia yang bersalah.
Sedangkan pengadilan untuk Perempuan menggunakan tata cara, dari dua pihak yang bersalah memasukkan tangannya ke dalam kuali yang berisi minyak mendidih, jika salah satu di antaranya lebih dahulu menarik tangannya keluar dari wadah yang isinya minyak mendidih, maka diputuskan bahwa pihak itulah yang bersalah.
Serangkaian cerita-cerita Mandar ini kami rangkum dalam aktivitas observasi kami, sebelum melaksanakan seminar program kerja yang nantinya menjadi referensi tambahan untuk mempelajari lebih dalam fakta sosio historis Masyarakat Desa Tammajarra, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat.
Sebab mahasiswa hidup di tengah-tengah masyarakat mesti selalu ilmiah guna menjadi penopang kehidupan masyarakat yang lebih bermakna dan menjadi intelektual pembaharu serta intelektual organik. (*)