Sitti Fatmawati Ilyas, S.Pd
(Pendidik dan Aktivis Muslimah )
Seorang remaja berusia 14 tahun yang masih menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Samarinda, diduga menjadi korban persetubuhan. Peristiwa tersebut terungkap ketika Ketua Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kaltim, Rina Zainun, dihubungi oleh salah satu anggota polwan. Dalam penyampaiannya, terdapat seorang anak mendatangi polsek untuk membuat laporan atas dugaan persetubuhan. Petugas itu mengatakan anak ini datang seorang diri untuk melaporkan dugaan persetubuhan oleh orang terdekatnya.
Saat ditanya, remaja perempuan tersebut menyatakan tidak ingin pulang ke rumahnya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk membawa korban ke rumah aman. Rina Zainun mengungkapkan bahwa alasan dia tidak mau pulang karena sang ayah yang mengetahui dugaan persetubuhan itu tidak mau mendampingi untuk laporan ke kepolisian. Dari pengakuan korban, persetubuhan yang dilakukan oleh orang terdekatnya itu, terjadi sejak 2022 hingga 2024 lalu. Terkait dengan kondisi korban saat ini masih merasa trauma (Koran Kaltim, 20/02/2025).
Miris, begitu banyak kejahatan yang menimpa para remaja wanita yang justru dilakukan oleh orang – orang terdekat. Mereka yang seharusnya terdepan dalam hal melindungi dan memberikan rasa aman justru menjadi ancaman yang luar biasa.
Generasi Fatherless Akibat Sekulerisme
Sebenarnya, telah disahkan undang-undang sebagai upaya untuk melindungi perempuan dan anak. Misal dengan adanya revisi UU Perlindungan Anak tentang tindak pidana kekerasan seksual. Namun, ternyata belum cukup untuk melindungi kaum perempuan dan anak. Hal ini bisa dilihat dari makin maraknya kasus kejahatan yang banyak dilakukan oleh orang terdekat korban, seperti paman, kakek, atau ayah kandungnya sendiri.
Kehidupan serba bebas dan hanya mengedepankan hawa nafsu hari ini membuat manusia kehilangan fitrahnya. Akalnya tidak lagi mampu menakar baik dan buruk, terpuji atau tercela, tidak memiliki rasa sayang sebagaimana seorang ayah terhadap anak, kakek terhadap cucu atau paman terhadap keponakan sebab hawa nafsu. Menjadikannya bertindak tidak ubahnya seperti hewan. Akibatnya ada ayah kandung sendiri tega untuk merusak anak kandungnya sendiri atau bahkan sama sekali tidak peduli dengan kondisi anaknya.
Hal inilah yang kemudian banyak melingkupi kehidupan remaja hari ini, yakni generasi fatherless Dimana tidak adanya peran dan keterlibatan figur ayah secara signifikan dan hangat dalam kehidupan sehari-hari di rumah. Kondisi ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman atas peran utama ayah sebagai kepala keluarga. Dia wajib untuk mencari nafkah, bertanggung jawab akan kondisi fisik dan mental anak-anaknya. Tidak hanya soal kebutuhan sehari-sehari tapi juga yang tidak kalah penting adalah perlindungan, perhatian dan kasih sayang.
Hilangnya semua tanggung jawab itu dari para ayah akibat sistem sekulerisme liberal yang diterapkan dalam kehidupan. Dimana manusia merasa bebas berbuat tanpa merasa terikat dengan aturan apapun termasuk aturan agama. Menjadikan manusia tidak lagi jernih dalam berpikir ketika memandang kehidupan. Akibatnya kebebasan berperpikir, kebebasan berperilaku dan hilangnya rasa takut kepada pencipta semakin menggurita di masyarakat. Manusia tidak lagi mampu menemukan solusi hakiki atas segala masalah yang dihadapinya.
Selanjutnya, sekulerisme liberal ini pula yang menciptakan lingkungan individualis, hilangnya kontrol masyarakat yang menyebabkan kemaksiatan merajalela, serta gagalnya negara dalam menjaga kehormatan generasi, menjamin keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan.
Islam Menjaga dan Melindungi Generasi
Islam mengatur kehidupan manusia secara sempurna. Dalam Islam negara memiliki peranan penting dalam melindungi rakyatnya termasuk anak-anak dari segala marabahaya baik fisik maupun nonfisik ( pemikiran).
Adapun perlindungan tersebut, butuh setidaknya tiga hal, yakni keimanan yang kuat dari individu-individu keluarga muslim, kepedulian dari anggota masyarakat, dan adanya negara yang menerapkan syariat Islam.
Pertama, keimanan kuat dari keluarga muslim. Sekuat apa pun godaan hawa nafsu, jika setiap anggota keluarga muslim memiliki keimanan yang kuat, niscaya akan saling menjaga agar semua senantiasa taat kepada Allah dan terhindar dari perbuatan dosa. Peran sentral tentu ada pada seorang ayah sebagai pemimpin keluarga yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah atas seluruh anggota keluarganya. Ayahlah yang seharusnya mendidik dan membina semua anggota keluarga agar taat kepada Allah. Ayah akan bekerja sama dengan ibu untuk menanamkan keimanan sejak anak masih usia dini, mengajarkan cara menyembah Allah dengan benar, mengajari cara salat dan ibadah lainnya, juga mengajarkan agar selalu bersikap sesuai ajaran Islam.
Kedua, perlunya kepedulian masyarakat. Tidak cukup dengan keluarga, tetapi juga perlu kepedulian masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya. Keimanan bisa saja melemah, ini hal yang sangat manusiawi. Oleh karenanya, perlu ada kontrol masyarakat agar semua keluarga muslim taat syariat Allah dan agar tidak terjadi kejahatan menimpa generasi.
Ketiga, peran penting negara. Tidak cukup kedua tadi, Islam juga menetapkan peran penting negara dalam mencegah terjadinya kejahatan. Salah satunya adalah memberi sanksi tegas bagi para pelaku kejahatan seksual yakni dua sanksi sekaligus. Sanksi karena pelaku telah melakukan pemaksaan pada korban, serta sanksi karena pelaku telah berzina.
Sanksi ini akan menimbulkan efek jera dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa (zawajir), sekaligus sebagai penebus dosa pelaku nanti di akhirat di hadapan pengadilan Allah Swt (jawabir). Tentu ini berbeda dengan sistem hukum hari ini yang bisa berubah-ubah, tidak membuat jera, serta tidak membuat orang lain takut untuk berbuat kejahatan serupa.
Begitulah Islam dalam menjaga dan melindungi generasi dan menjadi solusi terhadap berbagai kejahatan yang menimpa generasi. Dan hal ini mampu terwujud bila aturan Islam diadopsi sebagai aturan kehidupan manusia.
Wallahu a’lambishshowwab.