OPINI — Di bawah kepemimpinan Dr Ahmad Sultra Rustan, M.Si sebagai Rektor, STAIN berhasil bertransformasi atau naik level menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare pada awal 2018 ini. Transformasi kelembagaan ini menjadi sangat penting bagi eksistensi dan pengembangan kampus pada masa yang akan datang.
Jika pada masa STAIN, kampus ini hanya berkesempatan melakukan pengembangan disiplin keilmuan yang serumpun dan terbatas, maka dengan perubahan ini memberi ruang pengembangan keilmuan yang multi disipliner yang serumpun.
Struktur organisasi akan mengalami perubahan nomenklatur dan perluasan demarkasi lingkup keilmuan. Secara praktis, struktur keorganisasian akan bertambah dan tentu saja membutuhkan sumber daya manusia yang jauh lebih banyak dibanding sebelumnya.
Pimpinan kampus yang sebelumnya beristilah “Ketua” akan berganti sebutan “Rektor” dan pejabat administrasinya akan dipimpin pejabat setingkat eselon II. Begitu pun dengan lingkup disiplin keilmuan, jika sebelumnya demarkasinya disebut jurusan dan terbagi dalam beberapa program studi, akan berubah menjadi fakultas dan terbagi ke dalam jurusan.
Berubahnya STAIN menjadi IAIN Parepare, tentunya bukan sekedar ganti wajah atau casing. Secara subtantif, perubahan tersebut berpengaruh terhadap seluruh elemen atau bagian–bagian yang ada di dalam organisasi tersebut.
Mulai yang sifatnya simbolik berupa identitas, yang meliputi lambang, logo, papan nama, lagu, bendera, sampai kepada perubahan konsep pengembangan yang meliputi visi misi, sistem pembangunan, pengembangan program, dosen, kepegawaian, kurikulum, sistem pelayanannya.
Menyongsong pembangunan dan pengembangan kampus berwajah baru, Rektor IAIN Parepare bersama civitas akademika mengusung visi yang cukup ideal yaitu akulturasi Islam-budaya berbasis teknologi informasi dengan paradigma keilmuan “panrita tellu sulapa”.
Misi ini relevan dengan gagasan Gus Dur tentang “pribumisasi Islam”, atau pikiran Cak Nur tentang “modernisasi Islam dan istilah “Islam Nusantara” yang dipopulerkan oleh tokoh-tokoh NU seperti Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI.
IAIN Parepare menegaskan dirinya sebagai kampus yang berorientasi pada Islamisasi budaya dan membudayakan Islam. Budaya Indonesia dan Islam menjadi dua bagian yang harus menyatu dalam NKRI. Artinya, IAIN Parepare akan menjadi perekat umat Islam dengan negaranya. Indonesia tidak mungkin dipisahkan dengan Islam.
Misi kebangsaan ini muncul di tengah tingginya eskalasi isu terorisme dan gerakan khilafah Islamiyah yang dihembuskan kelompok Islam tertentu.
Kelompok ini cenderung eksklusif, intoleran, kaku/rigid, mudah mengkafirkan orang dan kelompok lain, mudah menyatakan permusuhan dan melakukan konflik, bahkan kalau perlu melakukan kekerasan terhadap sesama Muslim yang tidak sepaham.
Di sisi lain, muncul pula kelompok yang permisif dan liberal. Kelompok liberal ini berpandangan bahwa Islam itu menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. Oleh karenanya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya.
Kedua kelompok tersebut tergolong kelompok tatharruf yamini (ekstrem kanan) dan yasari (ekstrem kiri).
Menurut MUI, kedua kelompok ini cenderung berlebihan-lebihan dan tidak sesuai nilai-nilai Islam, khususnya kultur dan budaya Islam di Indonesia.
Gerakan kedua kelompok ini telah merugikan umat Islam di Indonesia. Gerakan terorisme telah menempatkan Islam sebagai agama yang intoleran, radikal, tidak pancasilais dan anti NKRI.
Sementara liberalisme Islam mengancam eksistensi dan nilai-nilai dasar Islam dari dalam.
Tentu saja, fenomena ini tidak bisa dibiarkan. Islam harus tumbuh dan berkembang di NKRI meski bukan sebagai negara Islam. Indonesia, cukup sebagai negara muslim terbesar di dunia, dimana ajaran dan budaya Islam menjadi “identity and nation culture”.
Indonesia harus dijelmakan sebagai negara madina. Negara yang plural dan majemuk dengan suku, ras dan agama, tetapi tegak di atas persaudaraan, kebersaman, dan keharmonisan. Masyarakat hidup dalam kerukunan, toleransi dan kedamaian. Indonesia sangat relevan dengan konstitusi madinah yang dicetuskan Rasulullah Saw.
Untuk menginternalisasi konstitusi Rasulullah Saw tersebut, umat Islam harus hadir sebagai Islam Wasathiyah, yaitu Islam yang moderat, inklusif dan menerima perbedaan. Secara subtansi “lslam harus hadir sebagai umat yang terbaik dengan berlaku adil kepada semua golongan. Manivestasinya terlihat dalam piagam madinah yang menempatkan semua golongan secara equel dalam hak dan kewajiban.
IAIN Parepare sebagai lembaga perguruan tinggi yang mengemban tri dharma, yaitu penelitian, pendidikan dan pengabdian memilih peran strategis dalam membumikan Islam Wasathiyah tersebut. Posisi strategisnya terletak pada tupoksinya sebagai pusat pendidikan dan pengembangan keilmuan Islam.
Melalui posisi tersebut, IAIN Parepare memiliki jangkauan yang luas dalam membangun peradaban Islam. Sejatinya, IAIN Parepare menjadi rujukan dialektika keilmuan, dakwah, budaya dan aspek kehidupan lainnya yang basis Islam di Indonesia, agar mengkanalisasi pengembangan paham dan gerakan Islam yang radikalisem atau pun yang liberalisem. Allahu ‘alam bisshawab. (*)