OPINI–Kembali kita akan membahas seputar utang. Meski pembahasan utang kali ini akan ditinjau dari sudut pandang yang lain. Bukan lagi menghukumi lebih dalam tentang utang, tapi lebih mencoba untuk menyikapi dan memahami situasinya. Bagi yang menyimak dari awal, mungkin bisa menangkap posisi penulis ada dimana ketika memandang soal utang ini. Benar. Penulis menganggap utang itu sebagai jalan yang harus dihindari. Mudharat utang itu jauh lebih besar dibanding maslahatnya.
Utang itu tidak bisa diandalkan menjadi sumber pemasukan ataupun sumber modal. Sifat utang itu membuat rapuh, bukan malah menguatkan keuangan, sebagaimana yang dipersepsikan sebagian orang. Dalam hukum Islam sendiri, walaupun tidak dimutlakkan haram (kecuali utang riba), namun utang tetap menjadi hal yang diseru untuk dihindari dan ditinggalkan. Ini tidak terlepas dari akibat utang yang bisa mendatangkan kehinaan dan kesengsaraan yang berkepanjangan. Beberapa sisi lain seputar dampak buruk utang ini telah cukup banyak dibahas pada bagian sebelumnya sehingga untuk memperjelas bisa dilirik kembali saja apa yang sudah pernah ditulis.
Bagaimana jika akhirnya kita terpaksa berutang? Bagaimana pula jika kita sudah terlanjur terjerat dengan utang? Pertanyaan-pertanyaan ini yang coba dibahas pada segmen ini. Masih seputar utang juga, tapi mendudukkan utang sebagai objek masalah yang perlu dikelola dan diselesaikan.
Mengawali pembahasan ini, diharapkan bahwa situasi terpaksa ataupun terlanjur yang dimaksud telah ditempatkan pada makna sebenarnya. Terpaksa itu karena memang tidak ada pilihan lain. Terlanjur adalah situasi yang disebabkan keputusan pada masa lalu, yang mana saat ini mulai disesali. Jadi perlu adalah kejujuran untuk memahami situasi terpaksa dan terlanjur ini berdasarkan kondisi objektifnya, bukan semata alasan subyektifitas yang hanya dibuat-buat.